BAGUS DIARSA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh😊

Bismillahirrahmanirrahim

BAGUS DIARSA

A long time ago there lived a Balinese prince who loved to le at cockfights. Although his people feared him, most of them also enjoyed cockfights. A large crowd always gathered when a cockfight was held. People came from near and far if they knew that the prince was holding a fight, for then the gambling stakes were high.

Among the people who attended the cockfights was a man called Bagus Diarsa. He liked to gamble, but he was very poor. Each time he went to a cockfight he brought only a little money, some to gamble with, and the rest to buy food.

One day Diarsa lost almost all of his gambling money at cock­fight. He went to the food stalls and bought a plate of rice with some of the money he had left. While he was eating, he noticed a poor old man, going from stall to stall, asking for left-over. For Every­one turned the old man away, he was dirty and smelled bad.

When the old  man came to Diarsa Diarsa said, ‘Why do you ask for left-overs, If that is all I give you I will feel very unkind. It’s better that I buy you your own plate of food.’ Diarsa bought the old man a full plate of rice, and waited while he ate every grain.

After his meal the old man asked if he could spend the night at Diarsa’s house. Diarsa promptly agreed, and when they reached his home, Diarsa asked his wife and son Wira to swiftly prepare a sleeping place for their guest.

As they sat talking late into the night, the old man asked Diarsa if he often went to the cockfights, and whether he won or lost. Diarsa told him that he always went, but always lost.

Then the old man asked, ‘Do you keep many cocks?’ Diarsa replied, ‘Grandfather, I don’t have any cocks now. They were all defeated and killed. So now I can bet only on other people’s cocks.’

Then the old man said, ‘Come to my home and I will give you a strong fighting cock. I have three, and you may take whichever one you like.’ Diarsa thanked the old man for his of­fer. The old man asked Diarsa if his son Wira could accompany him home. ‘I am old and alone.’ he said. ‘I need someone to look after me.’

Diarsa felt sympathetic towards the poor old man. ‘Cer­tainly, you can take Wira,’ he replied, ‘if the boy has no objec­tions.’ Diarsa and his wife called Wira, and Wira immediately agreed to go with the kind old man.

The next morning Wira and the old man prepared for their journey. Before they went, the old man asked Diarsa to get three chicken feathers. Then he told Diarsa, ‘Take good are of thew three feathers. Whenever you want to see Wira or me, just free the feathers. They will fly into the air. Follow them whenever they go, and you will reach my little house.

Then the old man and Wira said goodbye and set off to­wards the east. After they had walked for many hours, the old man said to Wira, ‘Listen, my son, let me tell you who I really am. I am the God Siwa.’ Just then, he changed into the God Siwa, and soon he and Wira arrived in heaven, and lived in Siwa’s palace.

Meanwhile, Diarsa and his wife lived on as usual. Diarsa continued to attend cockfights, and as usual, he always lost. His son had been away for so long that he and his wife had for­gotten him. It was Siwa’s wish that this be so.

One day the prince ordered a cockfight to be held outside his palace, and commanded everyone in the village to enter a cock, or else pay a large fine. Diarsa was worried. But suddenly he remembered the old man’s promise to give biro a cock. Diarsa told his wife that he must go to look for Wira and the old man.

Diarsa took the three chicken feathers, walked outside his house and looked them. They flew off, and he followed them. After many days Diarsa found himself in front of a beautiful palace. The feathers flew right in, but Diarsa did not dare to follow.

When Siwa saw the feathers enter his palace, he told Wira, ‘Your father is outside. Go and bring him in, for he is too afraid to enter alone.’ So Wira brought Diarsa in, and explained to him who the old man really was.

Siwa already knew what Diarsa wanted, and he led him to his cocks. Diarsa chose the largest cock. Then he thanked Siwa and said goodbye to his son. But before he lift, Siwa gave him flowers from the garden in his temple. ‘Use these when you bet on your cock,’ he said.

On the day of the cockfight, people crowded the village square and chose opponents for their cocks. Unfortunately for Diarsa, his cock scared all the others, so he could not find an opponent.

News of Diarsa’s strong cock reached the prince, who im­mediately ordered Diarsa to fight his cock against the prince’s own. Sharp blades were attached to the legs of both cocks. A huge crowd had gathered to watch the battle between the prince’s cock and Diarsa’s. How much money do you want to bet on your cock?’ The prince asked Diarsa. Diarsa remem­bered Siwa’s advice. He reached into his pocket for the temple flowers. But when he pulled his hand out, it was filled with gold, silver, and precious stones. He told the prince that he would bet these on his cock.

Then the two cocks were released. But Diarsa’s cock flew up into the air, swooped down on the prince, and killed him. There was a great uproar Diarsa ran home, chased by the prince’s soldiers.

Once he was inside, many eagles surrounded his house. His cock perched on the roof, and suddenly turned into a huge Garuda. With the help of the Garuda and the eagles, Diarsa soon subdued the prince’s followers. The people, who had hated and feared the strict prince, rejoiced and called Diarsa their new prince.

Diarsa was much loved, for he ruled justly. The princedom became prosperous and happy. Siwa watched all this happen­ing, and one day he called Wira and said to him, ‘Wira, it is now time for you to return to earth, for your father has become a prince, and will soon need your help.’ So Wira returned to earth amidst great rejoicing by Prince Bagus Diarsa and his Princess. They made Wira the prime minister, and Diarsa’s family and his descendants ruled that princedom of Bali for many generations.

Terjemahannya

BAGUS DIARSA

Dahulu kala hiduplah seorang pangeran Bali yang gemar bermain sabung ayam. Meskipun rakyatnya takut padanya, sebagian besar dari mereka juga gemar bermain sabung ayam. Kerumunan besar selalu berkumpul saat sabung ayam diadakan. Orang-orang datang dari dekat maupun jauh jika mereka tahu bahwa pangeran itu sedang bermain sabung ayam, karena saat itu taruhan judinya tinggi.

Di antara orang-orang yang datang ke sabung ayam itu ada seorang pria bernama Bagus Diarsa. Dia suka berjudi, tetapi dia sangat miskin. Setiap kali dia pergi ke sabung ayam, dia hanya membawa sedikit uang, sebagian untuk berjudi, dan sisanya untuk membeli makanan.

Suatu hari Diarsa kehilangan hampir semua uang judinya di sabung ayam. Dia pergi ke warung makan dan membeli sepiring nasi dengan sebagian uang yang tersisa. Saat dia makan, dia melihat seorang lelaki tua miskin, pergi dari satu warung ke warung lain, meminta sisa makanan. Semua orang mengusir lelaki tua itu, dia kotor dan bau.

Ketika lelaki tua itu datang menemui Diarsa, Diarsa berkata, ‘Mengapa kau minta sisa? Jika hanya itu yang kuberikan padamu, aku akan merasa sangat tidak baik. Lebih baik aku membelikanmu sepiring makanan sendiri.’ Diarsa membelikan lelaki tua itu sepiring penuh nasi, dan menunggu sementara dia menghabiskan setiap butirnya.

Setelah makan, lelaki tua itu bertanya apakah dia bisa bermalam di rumah Diarsa. Diarsa segera setuju, dan ketika mereka sampai di rumahnya, Diarsa meminta istri dan putranya, Wira, untuk segera menyiapkan tempat tidur bagi tamu mereka.

Ketika mereka duduk mengobrol hingga larut malam, lelaki tua itu bertanya kepada Diarsa apakah dia sering pergi ke adu ayam, dan apakah dia menang atau kalah. Diarsa mengatakan kepadanya bahwa dia selalu pergi, tetapi selalu kalah.

Kemudian lelaki tua itu bertanya, ‘Apakah kamu memelihara banyak ayam jantan?’ Diarsa menjawab, ‘Kakek, aku tidak punya ayam jantan sekarang. Mereka semua kalah dan dibunuh. Jadi sekarang aku hanya bisa bertaruh pada ayam jago milik orang lain.’

Kemudian orang tua itu berkata, ‘Datanglah ke rumahku dan aku akan memberimu seekor ayam jago petarung yang kuat. Aku punya tiga, dan kau boleh mengambil yang mana saja yang kau suka.’ Diarsa berterima kasih kepada orang tua itu atas tawarannya. Orang tua itu bertanya kepada Diarsa apakah putranya, Wira, dapat menemaninya pulang. ‘Aku sudah tua dan sendirian.’ katanya. ‘Aku butuh seseorang untuk menjagaku.’

Diarsa merasa simpati terhadap orang tua yang malang itu. ‘Tentu saja, kau boleh membawa Wira,’ jawabnya, ‘jika anak itu tidak keberatan.’ Diarsa dan istrinya memanggil Wira, dan Wira segera setuju untuk pergi bersama orang tua yang baik hati itu.

Keesokan paginya Wira dan lelaki tua itu bersiap untuk perjalanan mereka. Sebelum berangkat, lelaki tua itu meminta Diarsa untuk mengambil tiga helai bulu ayam. Kemudian ia berkata kepada Diarsa, ‘Ambillah tiga helai bulu itu dengan baik. Kapan pun kau ingin bertemu dengan Wira atau aku, lepaskan saja bulu-bulu itu. Bulu-bulu itu akan terbang ke udara. Ikutilah mereka ke mana pun mereka pergi, dan kau akan sampai di rumah kecilku.

Kemudian lelaki tua itu dan Wira berpamitan dan berangkat ke arah timur. Setelah berjalan selama berjam-jam, lelaki tua itu berkata kepada Wira, ‘Dengarlah, anakku, biar kukatakan siapa aku sebenarnya. Aku adalah Dewa Siwa.’ Saat itu juga, ia berubah menjadi Dewa Siwa, dan tak lama kemudian ia dan Wira tiba di surga, dan tinggal di istana Siwa.

Sementara itu, Diarsa dan istrinya menjalani kehidupan seperti biasa. Diarsa terus menghadiri adu ayam, dan seperti biasa, ia selalu kalah. Putranya telah lama pergi sehingga ia dan istrinya telah melupakannya. Itulah yang diinginkan Siwa.

Suatu hari, pangeran memerintahkan agar diadakan adu ayam di luar istananya, dan memerintahkan semua orang di desa untuk memasukkan seekor ayam jantan, atau membayar denda yang besar. Diarsa merasa khawatir. Namun, tiba-tiba ia teringat janji lelaki tua itu untuk memberikan seekor ayam jantan. Diarsa memberi tahu istrinya bahwa ia harus pergi mencari Wira dan lelaki tua itu.

Diarsa mengambil tiga helai bulu ayam, berjalan keluar rumah dan melihatnya. Bulu-bulu itu terbang, dan ia mengikutinya. Setelah beberapa hari, Diarsa menemukan dirinya di depan sebuah istana yang indah. Bulu-bulu itu terbang masuk, tetapi Diarsa tidak berani mengikutinya.

Ketika Siwa melihat bulu-bulu itu memasuki istananya, ia berkata kepada Wira, ‘Ayahmu ada di luar. Pergi dan bawa dia masuk, karena ia terlalu takut untuk masuk sendirian.’ Maka, Wira membawa Diarsa masuk, dan menjelaskan kepadanya siapa sebenarnya lelaki tua itu.

Siwa sudah tahu apa yang Diarsa inginkan, dan ia menuntunnya ke ayam-ayamnya. Diarsa memilih ayam jantan yang paling besar. Kemudian ia mengucapkan terima kasih kepada Siwa dan mengucapkan selamat tinggal kepada putranya. Namun sebelum dia mengangkatnya, Siwa memberinya bunga dari taman di kuilnya. ‘Gunakan ini saat kau bertaruh pada penismu,’ katanya.

Pada hari sabung ayam, orang-orang memadati alun-alun desa dan memilih lawan untuk penis mereka. Sayangnya bagi Diarsa, penisnya membuat semua orang takut, jadi dia tidak dapat menemukan lawan.

Berita tentang penis kuat Diarsa sampai ke telinga sang pangeran, yang segera memerintahkan Diarsa untuk bertarung melawan penis sang pangeran. Pisau tajam dipasang di kaki kedua penis. Kerumunan besar telah berkumpul untuk menyaksikan pertarungan antara penis sang pangeran dan penis Diarsa. Berapa banyak uang yang ingin kau pertaruhkan untuk penismu?’ Sang pangeran bertanya kepada Diarsa. Diarsa teringat nasihat Siwa. Dia merogoh sakunya untuk mengambil bunga kuil. Namun ketika dia menarik tangannya, tangannya penuh dengan emas, perak, dan batu-batu mulia. Dia memberi tahu sang pangeran bahwa dia akan mempertaruhkan ini pada penisnya.

Kemudian kedua penis itu dilepaskan. Namun, ayam jantan Diarsa terbang tinggi ke udara, menukik ke bawah dan membunuhnya. Terjadilah kegaduhan hebat, Diarsa berlari pulang, dikejar oleh para prajurit sang pangeran.

Begitu sampai di dalam, banyak burung elang mengelilingi rumahnya. Ayam jantannya hinggap di atap, dan tiba-tiba berubah menjadi seekor Garuda yang besar. Dengan bantuan Garuda dan burung elang, Diarsa segera menaklukkan para pengikut sang pangeran. Rakyat yang tadinya membenci dan takut kepada sang pangeran yang galak itu, bersukacita dan menyebut Diarsa sebagai pangeran baru mereka.

Diarsa sangat dicintai, karena ia memerintah dengan adil. Kerajaan menjadi makmur dan bahagia. Siwa menyaksikan semua kejadian ini, dan suatu hari ia memanggil Wira dan berkata kepadanya, ‘Wira, sekarang saatnya bagimu untuk kembali ke bumi, karena ayahmu telah menjadi seorang pangeran, dan akan segera membutuhkan bantuanmu.’ Maka Wira kembali ke bumi di tengah kegembiraan besar dari Pangeran Bagus Diarsa dan Putrinya. Mereka mengangkat Wira sebagai perdana menteri, dan keluarga Diarsa beserta keturunannya memerintah kerajaan Bali itu selama beberapa generasi.

Terima kasih atas kunjungannya. Semoga dengan berkunjung di website British Course ini sobat bisa makin cinta bahasa inggris, dan nilai bahasa inggris sobat semakin memuaskan. Dan semoga kita bisa belajar bahasa inggris bareng dan saling mengenal. Komentar, saran dan kritik dari sobat kami harapkan demi kemajuan website ini. Thanks..

British Course 1159 Articles
BRITISH Course Admin is an English teacher and undergraduate student of university in central java. English is a favorite lesson during admin's study. This site is a space to share English lesson to contribute in English development for English learner. Admin hopes this site can be useful for all of us.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*